BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ali Abdul Raziq
Ali Abdul
Raziq adalah seorang ilmuwan Islam yang berasal dari keluarga terkenal di
daerah al-Shahid (Mesir), di mana keluarga ini memiliki tanah-tanah pertanian
yang sangat luas atau dengan istilah lain disebut keluarga feodal.
Beliau
lahir di Mesir pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966 di tempat yang sama.
Ayahnya, Hasan Abdul Raziq Pasya, seorang pembesar yang terpandang di daerahnya
dan terjun dalam kegiatan politik dengan menjadi wakil ketua Hizb al-Ummah (Partai
Rakyat) tahun 1907, yaitu sebuah partai yang dibentuk sebagai tandingan Hizb
al-Wathani (Partai Kebangsaan). Langkah Hasan Abdul Raziq ini dilanjutkan
oleh anggota keluarganya dalam memimpin partai tersebut.
Pada
awalnya, Ali Abdul Raziq memperoleh pendidikan formalnya di al-Azhar dan memperoleh ijazah al-Alimiyah,
1911. Di samping belajar agama di al-Azhar, ia juga pernah mengikuti kuliah di
bidang sastra Arab selama dua tahun di Universitas Cairo dari Prof. Mallino
(ahli sastra dan syair Arab) dan sejarah filsafat dari Prof. Santilana
(sejarawan dan filosof), kemudian ia belajar ilmu kalam dan peradilan dari
Syeikh Ahmad Abu Khatwah (sahabat Muhammad Abduh dan murid al-Afghani). Pada
tahun 1912, ia sempat mengabdikan diri di al-Azhar sebagai tenaga pengajar
dalam bidang retorika selama beberapa bulan.
Tahun
berikutnya, Ali Abdul Raziq berangkat ke Inggris untuk mempelajari politik dan
Ekonomi. Akan tetapi, ternyata ia tidak sempat belajar di sana dan seiring
dengan pecahnya perang dunia I, Ia pun kembali ke Mesir, 1914. Pada
tahun 1915, ia ditunjuk sebagai hakim syari’ah dan di saat ia menduduki jabatan
ini di al-Manshuriah setelah sepuluh tahun, terbitlah bukunya yang terkenal al-Islam
wa Ushul al-Hukm, tahun 1925.
Peristiwa
paling penting yang terjadi dalam hidupnya sehingga namanya demikian termasyhur
adalah penerbitan bukunya tersebut. Buku inilah kemudian yang menimbulkan
kontroversi terhadap dirinya, sehingga membuatnya lebih masyhur dari
sebelumnya. Dalam pendahuluan buku itu dikemukakan bahwa ia telah menghabiskan
waktu beberapa tahun untuk menyusunnya, dan karyanya itu baru rampung pada awal
April 925. Begitu buku itu terbit dan dibaca oleh para ulama dan pembaca
lainnya, serta-merta mendapat tanggapan dan bantahan keras. Hal ini disebabkan
karena buku tersebut berkaitan dengan persoalan yang saat itu menjadi
perbincangan masyarakat Mesir, seluruh negeri Arab dan dunia Islam, yakni
masalah khilafah (pemerintahan)[1].
B.
Pemikiran
Ali Abdul Raziq tentang Konsep Negara
Pemahaman
kenegaraan atau lembaga khilafah yang dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq, sebagai
mana dituliskan dalam karyanya, menyatakan bahwa:
Negara
adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada
pada seorang kepala negara / pemerintah dengan gelar Khalifah, pengganti Nabi
Besar Muhamad SAW, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan
rakyat/umat, baik keagamaan maupun kedunawian yang hukumnya wajib bagi umat
untuk patuh dan ta’at sepenuhnya.
Dari konsep tersebut dapat dipahami, bahwa baik Ali Abdul Raziq ataupun Ulama
yang lain pada dasarnya mengakui bahwa Islam memerlukan adanya sistem
pemerintahaan dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan
aturan-aturan yang telah ditetapkan.Al-Raziq mengakui, bahwa nabi telah
mendirikan suatu Negara di Madinah bagaimanapun sederhananya. Sebab,
pelaksannan hukum dalam pengertian pemerintahaan sudah ada dizaman Nabi Muhamad
SAW.
Tetapi dalam hal ini, al-Raziq menyatakan sulitnya membuat kesimpulan bagaimana
prosudur penetapan hukum yang ditempuh Nabi. Demikian juga adanya informasi
yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, seperti masalah keuangan
dan pengawasan, keamanan jiwa atau kepolisian dan lain sebagainya. Namun
demikian, bidang-bidang tugas yang dilakukan Nabi seperti ekspedisi militer
untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah, pemberian delegasi
kepada shahabat untuk melaksanakan berbagai bidang tugas, memberikan petunjuk
bahwa Nabi Muhammad saw. Disamping sebagai seorang Rasul juga sebagai pemimpin
politik.
Akan tetapi yang menjadi persoalan bagi al-Raziq ialah masalah pendirian negara
di Madinah oleh Nabi berikut pengawasan dan bidang-bidang tugas yang dilakukan
tersebut, yang dapat disebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerasulan
dan pendirian negara itu berikut fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang dilakukan
Nabi berada di luar tugas kenabiannya.
Al-Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksaknakan Rasul bukanlah dagian
dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dari misi
kerasulan/dakwah Islamiyah dan berada di luar tugas kerasulannya. Pemerintah
yang pernah dibentuk Nabi adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan tugas kerasulannya.
Al- Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksanakan Rasul bukanlah bagian
dari tugas, melainkan tugas yang terpisah dari misi kerasulan/dakwah Islamiyah
dan berada diluar tugasa kerasulannya. Pemerintah yang pernah dibentuk Nabi
adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulan.
Sesungguhnya pernyataan tersebut bukanlah pendapat Al-Raziq yang sebenarnya,
pendapat ini hanya sementara sekedar mengikuti alur pemikiran yang dianut oleh
umat Islam pada umumnya, bahwa Nabi pernah mendirikan negara dan beliau
mempunyai dua fungsi, yakni sebagai Rasul dan sebagai kepala negara. Kalau
masyarakat yang dipimpin oleh Nabi itu disebut negara, maka al-Raziq memandang
sebagai tugas yang berada di luar misi kerasulannya. Nabi tidak membawa dan
mengemban misi untuk mendirikan negara. Paradigma pendapat yang ditujukan untuk
menolak pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara di Madinah.[2]
C. Landasan dan Metode Istinbath yang
Digunakan Ali Abdul Raziq
Dasar hukum
yang digunakan oleh Ali Abdul Raziq dalam mengemukakan pendapatnya tentang
konsep Negara adalah al-Qur’an surat al-Nisa ayat 59 dan 83 yang menyebutkan
kata ulil ‘amri: 1. Ayat pertama berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
59. Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2. Ayat yang kedua berbunyi:
#sÎ)ur öNèduä!%y` ÖøBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sr& ¾ÏmÎ/ (
öqs9ur çnru n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3
wöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜø¤±9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÌÈ
83.
dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
Amri)[323]. kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Ali Abdul
Raziq mengakaui bahwa ada diantara mufasir yang menafsir kata ulil amri’ pada
ayat pertama dengan penguasa kaum muslimin pada masa rasul dan pada masa
sesudah rasul termasuk para khalifah, para qadli dan panglima perang. Ada juga
yang menafsirkan dengan ulama syara’ . Sedangkan kata Ulil amri pada
ayat kedua ditafsirkan dengan sahabat senior atau para pemimpin mereka. Akan
tetapi menurutnya, tidak ada seorangpun yang menganggap kedua ayat tersebut
diatas sebagai dalil wajibnya mendirikan khilafah/negara.
Jadi
menurutnya, kedua ayat ini masih belum memadai sebagai dalil adanya khilafah
atau negara. Namun kandungan ayat tersebut ialah membuktikan adanya keharusan
bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang dapat dijadikan rujukan
bagi persoalan- persoalan yang mereka hadapi. Makna ini jelas lebih umum dan
luas dibandingkan dengan makna yang mereka sebutkan. Malahan pengertian
seperti itu satu sama lain berbeda jauh.
Sebagaimana
Al-Qur’an, Al-Sunah juga tidak membicarakan khilafah ini. Seandainya ada hadits
yang bisa dijadikan dalil, niscaya mereka lebih mendahulukannya dari pada ij’ma
dan tentu pengarang Al-Mawaqif (yang dimaksud ialah Abdurrahman Al-Iji
dan Sayyid Syarip Al-Jurjani) tidak mengatakan bahwa Ijma dalam mendirikan
negara ini tidak memiliki sandaran dalili Naqli.
Rasyid
Ridlolah diantara ulama yang berusaha mendapatkan Al-Sunah sebagai dalil atas
kewajiban mendirikan negara atau khilafah. Dia kritik Al- Taftazzany dan
orang-orang lainnya yang dianggapnya telah lupa mengambil hadits-hadits shahih
yang menetapkan adanya jama’ah kaum muslimin dan imam mereka. Sementara ada
hadits lain yang mengemukakan bahwa orang yang mati yang belum melakukan bai’at
maka kematiannya bagaikan kematian orang jahiliyyah.Ada lagi hadits Hudzaifah
yang menyatakan “Tetaplah kamu dalam jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.
Menurut Ali
Abdul Raziq, para ulama tidak menjadikan hadits-hadits itu sebagai dalil dalam
masalah ini. Sungguh demikian ia mengakui bahwa Rasyid Ridlo bukanlah orang
yang pertama kali mengemukakan konsep ini, sebelumnya Ibn hazm Al- dhahri juga
mempunyai dugaan bahwa ayat 59 surat al-nisa dan beberapa hadits shahih yang
menyatakan perlunya ta’at kepada imam, dapat dijadikan dasar kewajiban
pendirian suatu negara atau khilafah.
Menurut Al-Raziq,
bila dilakukan penelitian terhadap hadits-hadits yang disebutr diatas, semuanya
tidak ada yang memadai untuk dijadikan dalil terhadap anggapan mereka itu,
yakni bahwa syariat Islam mengakui adanya hegara atau imamah, Al-‘udhma dalam
pengertian menggantikan nabi dan menduduki kedudukannya dikalangan kaum
muslimin, apalagi untuk dijadikan dalil bahwa khilafah adalah aqidah syari’ah
dan salah satu diantara hukum-hukum
agama.
Semua hadits
Rasulullah Saw. yang menuturkan tentang Imamah, Khilafah, bai’at dan
istilah-istilah lainnya tidak menunjukan suatu pengertian lebih banyak
ketimbang yang masih ada dalam ucapan Yesus ketika menyinggung berbagai hukum
yang berkenaan dengan pemerintahan kekaisaran. Dalam hal ini al-Raziq mengutip
perkataan Isa al-Masih, yaitu: “berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak
kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.
Setelah
al-Raziq berusaha mematahkan argumentasi yang menganggap pembentukan khilafah
adalah wajib syar’I, lalu Ia meninjau khilafah dari sudut sosioligi-historis.
Menurutnya, ia hanya melahirkan keburukan dan kebobrokan. Semenjak pertengahan
abad ke tiga Hijriyah, kekhilafahan Islam mulai kehilangan pengaruhnya dn
kekuasaanya hanya terbatas tidak lebih pada satu wilayah yang sempit terletak
di Bahgdad sebgai tempat khalifah tidak lebih baik disbanding dengan
negeri-negeri yang telah lepas dari kekhalifahan. Demikian juga kondisi
perekonomiannya.
Allah
menjamin ketinggian dan kelestarian agama-Nya, namun Allah tidak menghendaki
ketinggian atau kehinaan agama-Nya tergantung kepada suatu bentuk pemerintahan
atau kepemimpinan. Dan Allah juga tidak menghendaki kebaikan atu kerusakan
hamba-Nya yang muslim tergantung kepda Khilafah atau pra khalifah.
Sebelum
mengkaji kepemimpinan Rasululllah, al-Raziq antara lain mengatakan bahwa
risalah bukanlah mulk keduanya tidak memiliki keterkaitan. Risalah adalah suatu
kedudukan dan mulk adalah kedudukan lainnya. Banyak diantara malik yang bukan
nabi dan banyak Rasul yang bukan Malik bahkan kebanyakan Rasul bertugas
semata-mata sebgai Rasul. Dalam sejarah Rasul, sedikit sekalai orang yang
menggabungkan kedua kedudukan itu.
Ali Abdul
Raziq mengakui bahwa Nabi melakukan tindakan yang bisa dinilai sebagai
pengaturan politik dalam menjalankan pemerintahnnya, seperti jihad. Jika jihad
(perjuangan dengan senjata) disamping alat dakwah juga diartikan sebagai cara
untuk mengokohkan negara dan memperluas kerajaan, maka orang yang mengambil
kesimpulan bahwa disamping sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad juga sebagai
penguasa politik. Namun al-Raziq mengajukan suatu pertanyaan apakah pembentukan
pemerintahan Islam dan berkecimpungnya Nabi didalamnya merupkan bagian tugas
yang diperintahkan wahyu Allah atau di luar tugas beliau sebagai pembawa
risalah.
Menurutnya,
prilaku politik yang dilakukan Nabi adalah di luar tugasnya sebagai pembawa
risalah. Kalau memang ternyata Nabi menjadi pemimpin politik, maka hal itu
timbul karena fenomena kebutuhan duniawi yang tidak ada sangkut pautnya dengan
risalah. Selanjutnya, al-Raziq memberikan penjelasan, memang benar tugas
risalah itu menuntut Nabi untuk memiliki semacam kepemimpinan dan kekuasaan
atas bangsanya, tetapi kepemimpinan dan kekuasaan raja ats rakyatnya.
Menurutnya,
kekuasaan Rasul atas bangsanya adalah kekuasaan Rohani/keagamaan dan ketundukan
yang sempurna yang selanjutnya dengan ketundukan fisik. Sedangkan kekuasaan
politik adalah kekuasaan pisik yang berdasarkan atas kekuasaan fisik tanpa ada
kaitan dengan hati. Yang pertama kekuasaan memimpin dan menunjukan jalan untuk
menuju jlan Allahm, sedangkan yang kedua kekusaan yang mengatur kemakmuran dan
kebaikan kshidupan duniawi. Yang pertama untuk agama dan yang kedua
untuk dunia. Yang pertama untuk Allah yang kedua untuk menusia, yang pertama
kepemimpinan agama dan kedua kepemimpinan politik sangatlah jauh perbedaan
antara kedudukan agama dan politik.
Sungguh pun
demikian, al-Raziq memandang logis bila semua umat manusia ini memeluk suatu
agama dan diatur oleh suatu ikatan keagamaan. Sedangkan bila umat manusiadi
muka bumi ini diatur melalui ikatan polittik dibawah satu pemerintahan, maka
hal itu dengan segera akan membuat mereka keluar dari watak kemanusiaanya dan
itu tidak sesuai kehendak Tuhan.
Pengaturan
manusia melalui pemerintah dan ikatan politik merupakan suatu kebutuhan duniawi
yang dipasrahkan oleh Allah kepada kemampuan akal maanusia. Manusia diberikan
kebebasan untuk mengaturnya melalui bimbingan dan pertimbangan akal, ilmu
pengetahuan, interes, dorongan nafsu dan ambisi-ambisi mereka. Dan inilah
hikmah yang diberikan Allah agar manusia menjadi bangsa yang beraneka.
Pandangan-pandangan Ali Abdul Raziq ini, yang
berlandaskan kepada pola pemahaman yang memberikan gambaran tentang tidak
adanya dalil tentang konsep negara, yang merupakan lembaga khilafah. Tegasnya
ia menolak sistem khilafah yang dianggap merupakan sistem pemerintahan Islam
yang ideal dan sistem pemerintahan yang berdasarkan Al-qur’an dan Al-sunah
.Menurutnya, yang ada hanya pemerintahan duniawi yang terlepas dari
konsep-konsep keagamaan. Dan Ia menunjukan bahwa agama dan negara mempunyai
peran dan tugas masing-masing serta antara agama dan negara tidak boleh
disatukan dalam sebuah lembaga.[3]
PENUTUP
1.
Kesimpulan.
Ali Abdul
Raziq berpendapat bahwa konsep kepemimpinan masyarakat haruslah
ada, namun bukan karena tuntutan agama, karena tidak ada ayat al-Qur’an
yang secara tegas menunjukkan kepada konsep negara. Dengan demikian,
menurutnya, bentuk pemerintahan/negara boleh beraneka bentuk dan sifatnya sesuai
dengan kultur dan kondisi politik.
Ali Abdul
Raziq mendasarkan pemahamannya terhadap surat al-Nisa ayat 59 dan 83, tentang
kepemimpinan. Metode istinbath hukum yang digunakan oleh Al-Maududi dalam
memahami ayat al-Qur’an dan al-Sunnah adalah metode skripturalistik, yaitu
pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, sehingga isyarat harpiyah ayat
dianggap makna dan konsep yang sesungguhnya. Sedangkan Ali Abdul Raziq dalam
memahami ayat itu menggunakan metode ‘aqliyah atau rasionalistik yang cenderung
memahami teks tanpa mempertimbangkan siratan makna yang terkandung di
dalamnya, sehingga karena tidak ada ayat yang secara gamblang menerangkan
konsep negara dianggap bahwa Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan suatu
negara.
2.
Saran.
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, banyak hal hal yang masih kurang dalam makalah
ini. Maka dari pada itu pemakalah mengharapkan kritikan dan saran dari para
pembaca dan terutama sekali kepada seorang pembimbing, guna untuk perubahan dan
perbaikan bagi pemakalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
http//pemikiran
politik ali abdul raziq. Google.com html
http//konsep
Negara menurut al-Maududi dan Ali Abdul Raziq.google.com html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar