MENERIMA RAKIT, SERVIS, INSTAL KOMPUTER,DLL

Senin, 25 Maret 2013

Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Biografi Ali Abdul Raziq
Ali Abdul Raziq adalah seorang ilmuwan Islam yang berasal dari keluarga terkenal di daerah al-Shahid (Mesir), di mana keluarga ini memiliki tanah-tanah pertanian yang sangat luas atau dengan istilah lain disebut keluarga feodal.
Beliau lahir di Mesir pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966 di tempat yang sama. Ayahnya, Hasan Abdul Raziq Pasya, seorang pembesar yang terpandang di daerahnya dan terjun dalam kegiatan politik dengan menjadi wakil ketua Hizb al-Ummah (Partai Rakyat) tahun 1907, yaitu sebuah partai yang dibentuk sebagai tandingan Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan). Langkah Hasan Abdul Raziq ini dilanjutkan oleh anggota keluarganya dalam memimpin partai tersebut.
            Pada awalnya, Ali Abdul Raziq memperoleh pendidikan formalnya di  al-Azhar dan memperoleh ijazah al-Alimiyah, 1911. Di samping belajar agama di al-Azhar, ia juga pernah mengikuti kuliah di bidang sastra Arab selama dua tahun di Universitas Cairo dari Prof. Mallino (ahli sastra dan syair Arab) dan sejarah filsafat dari Prof. Santilana (sejarawan dan filosof), kemudian ia belajar ilmu kalam dan peradilan dari Syeikh Ahmad Abu Khatwah (sahabat Muhammad Abduh dan murid al-Afghani). Pada tahun 1912, ia sempat mengabdikan diri di al-Azhar sebagai tenaga pengajar dalam bidang retorika selama beberapa bulan.
            Tahun berikutnya, Ali Abdul Raziq berangkat ke Inggris untuk mempelajari politik dan Ekonomi. Akan tetapi, ternyata ia tidak sempat belajar di sana dan seiring dengan pecahnya perang dunia I, Ia pun kembali ke Mesir, 1914. Pada tahun 1915, ia ditunjuk sebagai hakim syari’ah dan di saat ia menduduki jabatan ini di al-Manshuriah setelah sepuluh tahun, terbitlah bukunya yang terkenal al-Islam wa Ushul al-Hukm, tahun 1925.
            Peristiwa paling penting yang terjadi dalam hidupnya sehingga namanya demikian termasyhur adalah penerbitan bukunya tersebut. Buku inilah kemudian yang menimbulkan kontroversi terhadap dirinya, sehingga membuatnya lebih masyhur dari sebelumnya. Dalam pendahuluan buku itu dikemukakan bahwa ia telah menghabiskan waktu beberapa tahun untuk menyusunnya, dan karyanya itu baru rampung pada awal April 925. Begitu buku itu terbit dan dibaca oleh para ulama dan pembaca lainnya, serta-merta mendapat tanggapan dan bantahan keras. Hal ini disebabkan karena buku tersebut berkaitan dengan persoalan yang saat itu menjadi perbincangan masyarakat Mesir, seluruh negeri Arab dan dunia Islam, yakni masalah khilafah (pemerintahan)[1].

B.     Pemikiran Ali Abdul Raziq tentang Konsep Negara
Pemahaman kenegaraan atau lembaga khilafah yang dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq, sebagai mana dituliskan dalam karyanya, menyatakan bahwa:
Negara adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada pada seorang kepala negara / pemerintah dengan gelar Khalifah, pengganti Nabi Besar Muhamad SAW, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan rakyat/umat, baik keagamaan maupun kedunawian yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan ta’at sepenuhnya.
            Dari konsep tersebut dapat dipahami, bahwa baik Ali Abdul Raziq ataupun Ulama yang lain pada dasarnya mengakui bahwa Islam memerlukan adanya sistem pemerintahaan dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.Al-Raziq mengakui, bahwa nabi telah mendirikan suatu Negara di Madinah bagaimanapun sederhananya. Sebab, pelaksannan hukum dalam pengertian pemerintahaan sudah ada dizaman Nabi Muhamad SAW.
            Tetapi dalam hal ini, al-Raziq menyatakan sulitnya membuat kesimpulan bagaimana prosudur penetapan hukum yang ditempuh Nabi. Demikian juga adanya informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, seperti masalah keuangan dan pengawasan, keamanan jiwa atau kepolisian dan lain sebagainya. Namun demikian, bidang-bidang tugas yang dilakukan Nabi seperti ekspedisi militer untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah, pemberian delegasi kepada shahabat untuk melaksanakan berbagai bidang tugas, memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad saw. Disamping sebagai seorang Rasul juga sebagai pemimpin politik.
            Akan tetapi yang menjadi persoalan bagi al-Raziq ialah masalah pendirian negara di Madinah oleh Nabi berikut pengawasan dan bidang-bidang tugas yang dilakukan tersebut, yang dapat disebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerasulan dan pendirian negara itu berikut fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang dilakukan Nabi berada di luar tugas kenabiannya.
            Al-Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksaknakan Rasul bukanlah dagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dari misi kerasulan/dakwah Islamiyah dan berada di luar tugas kerasulannya. Pemerintah yang pernah dibentuk Nabi adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya.
            Al- Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksanakan Rasul bukanlah bagian dari tugas, melainkan tugas yang terpisah dari misi kerasulan/dakwah Islamiyah dan berada diluar tugasa kerasulannya. Pemerintah yang pernah dibentuk Nabi adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulan.
            Sesungguhnya pernyataan tersebut bukanlah pendapat Al-Raziq yang sebenarnya, pendapat ini hanya sementara sekedar mengikuti alur pemikiran yang dianut oleh umat Islam pada umumnya, bahwa Nabi pernah mendirikan negara dan beliau mempunyai dua fungsi, yakni sebagai Rasul dan sebagai kepala negara. Kalau masyarakat yang dipimpin oleh Nabi itu disebut negara, maka al-Raziq memandang sebagai tugas yang berada di luar misi kerasulannya. Nabi tidak membawa dan mengemban misi untuk mendirikan negara. Paradigma pendapat yang ditujukan untuk menolak pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara di Madinah.[2]

C.    Landasan dan Metode Istinbath yang Digunakan Ali Abdul Raziq
Dasar hukum yang digunakan oleh Ali Abdul Raziq dalam mengemukakan pendapatnya tentang konsep Negara adalah al-Qur’an surat al-Nisa ayat 59 dan 83 yang menyebutkan kata ulil ‘amri: 1. Ayat pertama berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2. Ayat yang kedua berbunyi:
#sŒÎ)ur öNèduä!%y` ֍øBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sŒr& ¾ÏmÎ/ ( öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3 Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øŠn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜøŠ¤±9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÌÈ  
83. dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Ali Abdul Raziq mengakaui bahwa ada diantara mufasir yang menafsir kata ulil amri’ pada ayat pertama dengan penguasa kaum muslimin pada masa rasul dan pada masa sesudah rasul termasuk para khalifah, para qadli dan panglima perang. Ada juga yang menafsirkan dengan ulama syara’ . Sedangkan kata Ulil amri pada ayat kedua ditafsirkan dengan sahabat senior atau para pemimpin mereka. Akan tetapi menurutnya, tidak ada seorangpun yang menganggap kedua ayat tersebut diatas sebagai dalil wajibnya mendirikan khilafah/negara.
Jadi menurutnya, kedua ayat ini masih belum memadai sebagai dalil adanya khilafah atau negara. Namun kandungan ayat tersebut ialah membuktikan adanya keharusan bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang dapat dijadikan rujukan bagi persoalan- persoalan yang mereka hadapi. Makna ini jelas lebih umum dan luas dibandingkan dengan makna yang mereka sebutkan. Malahan pengertian seperti  itu satu sama lain berbeda jauh.
Sebagaimana Al-Qur’an, Al-Sunah juga tidak membicarakan khilafah ini. Seandainya ada hadits yang bisa dijadikan dalil, niscaya mereka lebih mendahulukannya dari pada ij’ma dan tentu pengarang  Al-Mawaqif (yang dimaksud ialah Abdurrahman Al-Iji dan Sayyid Syarip Al-Jurjani) tidak mengatakan bahwa Ijma dalam mendirikan negara ini tidak memiliki sandaran dalili Naqli.
Rasyid Ridlolah diantara ulama yang berusaha mendapatkan Al-Sunah sebagai dalil atas kewajiban mendirikan negara atau khilafah. Dia kritik Al- Taftazzany dan orang-orang lainnya yang dianggapnya telah lupa mengambil hadits-hadits shahih yang menetapkan adanya jama’ah kaum muslimin dan imam mereka. Sementara ada hadits lain yang mengemukakan bahwa orang yang mati yang belum melakukan bai’at maka kematiannya bagaikan kematian orang jahiliyyah.Ada lagi hadits Hudzaifah yang menyatakan “Tetaplah kamu dalam jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.
Menurut Ali Abdul Raziq, para ulama tidak menjadikan hadits-hadits itu sebagai dalil dalam masalah ini. Sungguh demikian ia mengakui bahwa Rasyid Ridlo bukanlah orang yang pertama kali mengemukakan konsep ini, sebelumnya Ibn hazm Al- dhahri juga mempunyai dugaan bahwa ayat 59 surat al-nisa dan beberapa hadits shahih yang menyatakan perlunya ta’at kepada imam, dapat dijadikan dasar kewajiban pendirian suatu negara atau khilafah.
Menurut Al-Raziq, bila dilakukan penelitian terhadap hadits-hadits yang disebutr diatas, semuanya tidak ada yang memadai untuk dijadikan dalil terhadap anggapan mereka itu, yakni bahwa syariat Islam mengakui adanya hegara atau imamah, Al-‘udhma dalam pengertian menggantikan nabi dan menduduki kedudukannya dikalangan kaum muslimin, apalagi untuk dijadikan dalil bahwa khilafah adalah aqidah syari’ah dan salah satu diantara hukum-hukum  agama.                                                
Semua hadits Rasulullah Saw. yang menuturkan tentang Imamah, Khilafah, bai’at dan istilah-istilah lainnya tidak menunjukan suatu pengertian lebih banyak ketimbang yang masih ada dalam ucapan Yesus ketika menyinggung berbagai hukum yang berkenaan dengan pemerintahan kekaisaran. Dalam hal ini al-Raziq mengutip perkataan Isa al-Masih, yaitu: “berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.
Setelah al-Raziq berusaha mematahkan argumentasi yang menganggap pembentukan khilafah adalah wajib syar’I, lalu Ia meninjau khilafah dari sudut sosioligi-historis. Menurutnya, ia hanya melahirkan keburukan dan kebobrokan. Semenjak pertengahan abad ke tiga Hijriyah, kekhilafahan Islam mulai kehilangan pengaruhnya dn kekuasaanya hanya terbatas tidak lebih pada satu wilayah yang sempit terletak di Bahgdad sebgai tempat khalifah tidak lebih baik disbanding dengan negeri-negeri yang telah lepas dari kekhalifahan. Demikian juga kondisi perekonomiannya.
Allah menjamin ketinggian dan kelestarian agama-Nya, namun Allah tidak menghendaki ketinggian atau kehinaan agama-Nya tergantung kepada suatu bentuk pemerintahan atau kepemimpinan. Dan Allah juga tidak menghendaki kebaikan atu kerusakan hamba-Nya yang muslim tergantung kepda Khilafah atau pra khalifah.
Sebelum mengkaji kepemimpinan Rasululllah, al-Raziq antara lain mengatakan bahwa risalah bukanlah mulk keduanya tidak memiliki keterkaitan. Risalah adalah suatu kedudukan dan mulk adalah kedudukan lainnya. Banyak diantara malik yang bukan nabi dan banyak Rasul yang bukan Malik bahkan kebanyakan Rasul bertugas semata-mata sebgai Rasul. Dalam sejarah Rasul, sedikit sekalai orang yang menggabungkan kedua kedudukan itu.
Ali Abdul Raziq mengakui bahwa Nabi melakukan tindakan yang bisa dinilai sebagai pengaturan politik dalam menjalankan pemerintahnnya, seperti jihad. Jika jihad (perjuangan dengan senjata) disamping alat dakwah juga diartikan sebagai cara untuk mengokohkan negara dan memperluas kerajaan, maka orang yang mengambil kesimpulan bahwa disamping sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad juga sebagai penguasa politik. Namun al-Raziq mengajukan suatu pertanyaan apakah pembentukan pemerintahan Islam dan berkecimpungnya Nabi didalamnya merupkan bagian tugas yang diperintahkan wahyu Allah atau di luar tugas beliau sebagai pembawa risalah.
Menurutnya, prilaku politik yang dilakukan Nabi adalah di luar tugasnya sebagai pembawa risalah. Kalau memang ternyata Nabi menjadi pemimpin politik, maka hal itu timbul karena fenomena kebutuhan duniawi yang tidak ada sangkut pautnya dengan risalah. Selanjutnya, al-Raziq memberikan penjelasan, memang benar tugas risalah itu menuntut Nabi untuk memiliki semacam kepemimpinan dan kekuasaan atas bangsanya, tetapi  kepemimpinan dan kekuasaan raja ats rakyatnya.
Menurutnya, kekuasaan Rasul atas bangsanya adalah kekuasaan Rohani/keagamaan dan ketundukan yang sempurna yang selanjutnya dengan ketundukan fisik. Sedangkan kekuasaan politik adalah kekuasaan pisik yang berdasarkan atas kekuasaan fisik tanpa ada kaitan dengan hati. Yang pertama kekuasaan memimpin dan menunjukan jalan untuk menuju jlan Allahm, sedangkan yang kedua kekusaan yang mengatur kemakmuran dan kebaikan kshidupan duniawi. Yang  pertama  untuk agama dan yang kedua untuk dunia. Yang pertama untuk Allah yang kedua untuk menusia, yang pertama kepemimpinan agama dan kedua kepemimpinan politik sangatlah jauh perbedaan antara kedudukan agama dan politik.
Sungguh pun demikian, al-Raziq memandang logis bila semua umat manusia ini memeluk suatu agama dan diatur oleh suatu ikatan keagamaan. Sedangkan bila umat manusiadi muka bumi ini diatur melalui ikatan polittik dibawah satu pemerintahan, maka hal itu dengan segera akan membuat mereka keluar dari watak kemanusiaanya dan itu tidak sesuai kehendak Tuhan.     
Pengaturan manusia melalui pemerintah dan ikatan politik merupakan suatu kebutuhan duniawi yang dipasrahkan oleh Allah kepada kemampuan akal maanusia. Manusia diberikan kebebasan untuk mengaturnya melalui bimbingan dan pertimbangan akal, ilmu pengetahuan, interes, dorongan nafsu dan ambisi-ambisi mereka. Dan inilah hikmah yang diberikan Allah agar manusia menjadi bangsa yang beraneka.
 Pandangan-pandangan Ali Abdul Raziq ini, yang berlandaskan kepada pola pemahaman yang memberikan gambaran tentang tidak adanya dalil tentang konsep negara, yang merupakan lembaga khilafah. Tegasnya ia menolak sistem khilafah yang dianggap merupakan sistem pemerintahan Islam yang ideal dan sistem pemerintahan yang berdasarkan Al-qur’an dan Al-sunah .Menurutnya, yang ada hanya pemerintahan duniawi yang terlepas dari konsep-konsep keagamaan. Dan Ia menunjukan bahwa agama dan negara mempunyai peran dan tugas masing-masing serta antara agama dan negara tidak boleh disatukan dalam sebuah  lembaga.[3]




PENUTUP

1.      Kesimpulan.
Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa konsep kepemimpinan  masyarakat haruslah ada,  namun bukan karena tuntutan agama, karena tidak ada ayat al-Qur’an yang secara tegas menunjukkan kepada konsep negara. Dengan demikian, menurutnya, bentuk pemerintahan/negara boleh beraneka bentuk dan sifatnya sesuai dengan kultur dan kondisi politik.
Ali Abdul Raziq mendasarkan pemahamannya terhadap surat al-Nisa ayat 59 dan 83, tentang kepemimpinan.  Metode istinbath hukum yang digunakan oleh Al-Maududi dalam memahami ayat al-Qur’an dan al-Sunnah adalah metode skripturalistik, yaitu pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, sehingga isyarat harpiyah ayat dianggap makna dan konsep yang sesungguhnya. Sedangkan Ali Abdul Raziq dalam memahami ayat itu menggunakan metode ‘aqliyah atau rasionalistik yang cenderung memahami teks  tanpa mempertimbangkan siratan makna yang terkandung di dalamnya, sehingga karena tidak ada ayat yang secara gamblang menerangkan konsep negara dianggap bahwa Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan suatu negara. 
2.      Saran.
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, banyak hal hal yang masih kurang dalam makalah ini. Maka dari pada itu pemakalah mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca dan terutama sekali kepada seorang pembimbing, guna untuk perubahan dan perbaikan bagi pemakalah dikemudian hari.




DAFTAR PUSTAKA

http//pemikiran politik ali abdul raziq. Google.com html
http//konsep Negara menurut al-Maududi dan Ali Abdul Raziq.google.com html


[1] http//pemikiran politik ali abdul raziq. Google.com html
[2] http//konsep Negara menurut al-Maududi dan Ali Abdul Raziq.google.com html
[3] Ibbid .google.com html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Auto ping

Ping your blog, website, or RSS feed for Free